Seorang kawan bercerita, bahwa ia tak pernah menangis jika sakit hati karena putus cinta. Sesakit apapun itu! Tapi ia selalu meneteskan air mata jika ada sesuatu yang menyangkut orang tuanya.
Seperti pagi ini, ibunya menyediakan semangkuk mie instan dan segelas teh manis hangat di meja –karena ibunya tau sang kawan sedang tak enak badan-, ia bercerita kepada saya dengan mata berkaca dan suara getar penuh haru, “gue udah tua, nov… apalagi ibu gue…” kata sang kawan. Yap… betul katamu mbak. Kasih ibu memang tiada batas.
Nggak persis sama, tapi perasaan seperti itu pernah aku alami.
Kejadiannya berbelastahun yang lalu, saat saya belum menikah dan masih numpang hidup sama ortu.
Malam itu saya demam tinggi. Kepala pusing dan badan rasanya nggak keruan. Malam udah larut. Saya tiduran di depan TV, sendirian.
Tiba2 nyokap bangun. Nggak ngomong apa-apa, beliau duduk di kursi dekat saya (padahal saya tau beliau bukan penikmat TV sejati). Nggak lama kemudian beliau jalan ke dapur. Dan tiba2 semangkuk mie rebus hangat sudah tersedia di depan hidung saya.
Wah, rasanya gimaaaaa… banget. Terharu luar biasa.
Sama seperti si-mbak kawanku itu bilang, kalau mau makan mie instan toh kita bisa (dan biasa) bikin sendiri. Tak perlu dilayani macam itu, karena kita bukan lagi bocah kecil yang masih harus selalu dibantu.
Apalagi jika mengingat ibu saya bukanlah orang yang ekspresif dan banyak mengumbar kata. Dari dulu, beliau tak banyak cakap. Lebih banyak diam dan menyimpan segala perasaan untuk dirinya sendiri. Senang atau susah. Sedih atau bahagia.
Ketika saya dan 2 saudara saya mulai beranjak dewasa dan mengenali warna dunia kehidupan yang sesungguhnya, kami pun akhirnya bisa ‘membaca’ perasaan mama. Bukan terungkap lewat kata-katanya, bukan pula lewat ekspresinya, tapi lebih karena kami, -ibu dan anak-anaknya- mulai saling memahami. Kami berkomunikasi dan saling mengerti, walau tanpa banyak kata….
Dalam diamnya, kami tau bahwa cinta dan kasih mama tak kan pernah habis untuk kami, anak-anakmu, cucumu, dan juga menantu-menantumu.
Seperti pagi ini, ibunya menyediakan semangkuk mie instan dan segelas teh manis hangat di meja –karena ibunya tau sang kawan sedang tak enak badan-, ia bercerita kepada saya dengan mata berkaca dan suara getar penuh haru, “gue udah tua, nov… apalagi ibu gue…” kata sang kawan. Yap… betul katamu mbak. Kasih ibu memang tiada batas.
Nggak persis sama, tapi perasaan seperti itu pernah aku alami.
Kejadiannya berbelastahun yang lalu, saat saya belum menikah dan masih numpang hidup sama ortu.
Malam itu saya demam tinggi. Kepala pusing dan badan rasanya nggak keruan. Malam udah larut. Saya tiduran di depan TV, sendirian.
Tiba2 nyokap bangun. Nggak ngomong apa-apa, beliau duduk di kursi dekat saya (padahal saya tau beliau bukan penikmat TV sejati). Nggak lama kemudian beliau jalan ke dapur. Dan tiba2 semangkuk mie rebus hangat sudah tersedia di depan hidung saya.
Wah, rasanya gimaaaaa… banget. Terharu luar biasa.
Sama seperti si-mbak kawanku itu bilang, kalau mau makan mie instan toh kita bisa (dan biasa) bikin sendiri. Tak perlu dilayani macam itu, karena kita bukan lagi bocah kecil yang masih harus selalu dibantu.
Apalagi jika mengingat ibu saya bukanlah orang yang ekspresif dan banyak mengumbar kata. Dari dulu, beliau tak banyak cakap. Lebih banyak diam dan menyimpan segala perasaan untuk dirinya sendiri. Senang atau susah. Sedih atau bahagia.
Ketika saya dan 2 saudara saya mulai beranjak dewasa dan mengenali warna dunia kehidupan yang sesungguhnya, kami pun akhirnya bisa ‘membaca’ perasaan mama. Bukan terungkap lewat kata-katanya, bukan pula lewat ekspresinya, tapi lebih karena kami, -ibu dan anak-anaknya- mulai saling memahami. Kami berkomunikasi dan saling mengerti, walau tanpa banyak kata….
Dalam diamnya, kami tau bahwa cinta dan kasih mama tak kan pernah habis untuk kami, anak-anakmu, cucumu, dan juga menantu-menantumu.
We love u mama … we always will ...
1 comment:
Hiks hiks ... gw bangetttttt ...
Post a Comment