Sunday, June 29, 2008

naik kelas

Alhamdulillah, kedua anak bunda naik kelas.
Abang Nanda naik kelas 5 dan mas Elang naik kelas 2.
Rapotnya diambil kemarin siang oleh Bapak, Bunda dan kakak Fiko.

Nilai rapot abang sih sesuai perkiraan. Walopun banyak nilai mata pelajaran yang turun (dibanding semester lalu), tapi jumlah nilai prestasi hasil belajarnya naik 4 poin.
Buat abang sih, bunda yakin Insya Allah naik. Paling liat nilainya aja, bagus ato biasa-biasa.
Walopun di rumah abang hampir gak pernah buka buku dan mengulang pelajarannya (kecuali kalo mo ulangan ato abis dimarahin bapak), tapi kami yakin dengan kemampuan 'menyerap' abang yang 'bisa diandalkan' selama jam sekolah, Insya Allah ada 'nyangkut-nyangkutnya' di abang.
Lagian, kalo saya perhatiin, makin banyak abang baca buku sekolah (di rumah), dia makin bingung ama pelajarannya, hehehe....
Jadi dengan jumlah nilai prestasi hasil belajar 836 (untuk 8 mata pelajaran utama plus 2 muatan lokal), menurut saya sepadan-lah dengan cara (jarang banget) belajar (di rumah)nya selama ini.

Yang agak saya khawatirkan adalah mas Elang. Saya sadar banget bahwa metode belajarnya mas Elang belum ada yang 'pas' sesuai dengan karakter dan kemampuannya.
Saya ngerasa banget bahwa pola belajar selama ini belum bisa meng-eksplor habis kemampuannya.
Saya yakin, kalo ketemu pola dan metode yang pas, Insya Allah mas Elang bisa menonjol prestasi akademiknya.
Dengan hasil psikotesnya yang tergolong cerdas (skor IQ 124), 'harusnya' nilai rapot mas Ang paling nggak, lebih banyak angka 8-nya (bukan seperti sekarang, yang angka 8-nya hanya ada 2, dan sisanya 7). Walopun dibanding semester lalu, jumlah nilai prestasi hasil belajarnya naik 30 poin (Alhamdulillah, progressnya bagus ya?)

Pikir punya pikir, baru kepikiran, jangan-jangan mas Elang nih kayak bapaknya.
Dulu kan saya pernah sekelas ama bapake waktu kelas 1 SMP. Walopun keliatan bahwa bapak smarter than other boys, tapi prestasi akademiknya sangat-sangat nggak menonjol. Biasa banget.
Dianya juga cuek sih. Gak pernah keliatan belajar. Tiap ada PR juga ngerjainnya selalu disekolah, nyontek PR saya (uh, nyebelin.... males banget nggak sih tuh cowok :P ).

Makanya saya agak surprised, jauh setelah menikah, tanpa sengaja, si bapak ngeluarin berkas-berkas sekolahnya (waktu itu lagi cari sesuatu). Kebetulan Eyang kan rapi banget. Semua berkas dan dokumen anak-anaknya disimpan rapi dalam map masing-masing (per nama anaknya).
Saya bener-bener nggak nyangka, bahwa dari beberapa kali psikotes yang pernah beliau ikuti (waktu kecil), skor IQnya rata-rata 131 bahkan di satu saat pernah mencapai 140! Wadoohhh.... pinter juga laki gw ya :)

Makanya tadi pagi saya ngobrol iseng sama bapak, kepikir aja, jangan2 'isi kepala' mas Elang sejenis dan sebangun sama bapake. Ya kepingin tau aja, kayanya kok nggak ada motivasi buat berprestasi sesuai kemampuan yang sudah dianugerahi Allah.
Kata bapak, "knapa ya? waktu kecil nggak kepikir aja kali. Aku sih nggak pernah kepingin jadi juara..."
Lha, sama, saya juga nggak pernah punya obsesi mo jadi juara. Yang selalu saya lakukan adalah "do the best" bukan "be the best".
Dorongan itu sudah muncul sejak saya kecil. Mungkin seusia abang sekarang.
Saya selalu ingat kata2 yang 'diasongkan' oleh mbah kakung waktu itu.
Kalimat pastinya saya lupa, cuma kurang lebih isinya seperti ini:

nggak semua orang bisa jadi pohon.
kalo nggak bisa jadi pohon, jadi saja rumput, tapi yang tumbuh di sepanjang jalan setapak.

nggak semua orang jadi nakhoda. Harus ada awak kapalnya.
Maka jadilah awak kapal yang terbaik, yang kita bisa.

Kita nggak harus jadi yang terbaik, tapi lakukanlah yang terbaik yang kita bisa.

Kata-kata itu ternyata sangat membekas dan melekat dalam diri saya.
Kalimat-kalimat itulah yang selalu melecut saya untuk selalu mengupayakan yang terbaik semampu saya. (Di kemudian hari, saat pemahaman ke-Islam-an saya bertambah, saya meyakini bahwa penentu disetiap usaha manusia adalah hak prerogatif Allah SWT, sekuat apapun kita berusaha).

Omong-omong soal skor tes IQ, cuma si bungsu yang belum pernah ngikutin. Kepingin juga sih tau, Mungkin kapan2 mau saya ikutin psikotes. Selain pengin tau kemampuannya, juga supaya bisa siap-siap, stimulasi apa yang kudu disiapin supaya pas dan cocok untuk menggali kemampuan si bungsu.

Kala abang Nanda sudah 2 kali ikut psikotes.
Yang pertama saat tes masuk SD Islam deket sekolah oma. Alhamdulillah, abang tergolong very superior atau sangat cerdas dengan skor IQ 130.
Yang kedua saat naik kelas 3 SD. Waktu pembagian rapot, ada catatan khusus dari wali kelasnya. Katanya abang keliatan sangat bosan kalo ketemu pelajaran teori, tapi sebaliknya, sangat bersemangat untuk semua pelajaran praktek. Pengamatan Ibu Guru, mungkin karena bosan dan merasa 'sudah menguasai' pelajaran yang sedang berlangsung di kelas, abang cenderung 'gak bisa diam' dan 'membantu' tugas teman-temannya yang belum selesai. (Hahaha, mungkin maksudnya abang jadi nggeganggu proses belajar mengajar di kelas ya?). Abang juga punya kecenderungan main-main melulu dan tidak bisa konsentrasi di kelas.
Makanya saya ikutkan lagi abang psikotes untuk dasar konsultasi dengan psikolog anak.
Skor psikotesnya tetap 130, dan atas saran sang psikolog, untuk melatih konsentrasi dan disiplin, Abang disarankan untuk ikut kumon dan les-les (apa saja), yang penting bisa menguras energinya yang sangat berlebihan.
Cuma, karena waktu itu sekolah abang adalah fullday school, yang pulang sekolah setiap hari juga nyaris jam 4 sore (padahal masuknya jam 7 pagi), maka yang bisa kami 'paksakan' adalah kumon.
Sayangnya, bertambah hari, tugas sekolah abang tambah banyak, dan les kumonnya makin keteteran. Kasian kalo liat dia pulang sekolah, pontang-panting berangkat kumon. Bahkan pernah kena tegor 1 kali sama pengajar kumonnya, karena abang baru sampe tempat kumon jam 530 sore!
Akhirnya, dengan berat hati, kami hentikan les kumon abang, walopun program tersebut adalah bagian dari 'terapi' abang :(
Kasian. Walo nggak pernah ngeluh, tapi kami tau, bahwa kalo diteruskan, abang akan kehilangan masa-masa bermainnya. Dia bakal jadi robot yang ikut skedul harian.
Sangat nggak fair buat abang, padahal kami (saya dan bapake) punya kesempatan bermain yang banyak saat kami kecil. Begitulah kisah tentang abang dan kumon-nya.

Balik soal psikotes, saya cuma pernah ikut sekali. Itupun karena bingung waktu mo penjurusan di SMA. Di lembar hasilnya tidak disebutkan skor (mungkin dianggap nggak relevan sama tujuan psikotes untuk penjurusan). Yang dituliskan cuma:

Kesimpulan/saran:
Program A1 - Ilmu Fisika : Baik
Program A2 - Ilmu Biologi : Baik
Program A3 - Ilmu Sosial : Baik
Program A4 - Pengetahuan Budaya : Baik
Taraf kecerdasan tergolong diatas rata-rata.
Potensi dalam bidang Eksakta dan Sosial tergolong diatas rata-rata.
Minat terarah ke bidang Ilmu-ilmu Eksakta.
Bila nilai rapor menunjang, disarankan memilih Program A1 untuk melanjutkan studi ke jenjang S1 bidang Teknik Sipil atau Planologi.

Kemudian, saat naik kelas 2 jurusan apa yang akhirnya saya ambil?
Sosial alias A3, hehehe
Abis, psikotesnya kagak nolong. Masa semuanya baik!
Hihihi, walopun dipaksa secara halus oleh wali kelas 1 (waktu ambil rapot) supaya saya ambil jurusan A1, "sayang, kan nilainya masuk untuk A1" katanya. Tapi, saya keukeh masuk A3. Maapkan saya kalo ibu guru terpaksa menulis "A3" di lembar rapot saya dengan berat hati.
Tapi saya nggak nyesel, karena saya puas main-main dan berorganisasi selama 3 tahun di SMA :)


Note: Siapa dan apapun yang saya raih saat ini, sangat tidak terlepas dari bimbingan dan arahan alm Mbah Kakung (bapaknya opa). Sungguh, dari beliaulah saya banyak belajar tentang hidup dan menghadapi hidup. Jika hingga saat ini saya tak sampai kehilangan arah, walo harus melintasi badai dan cuaca buruk yang tak bersahabat, tak bisa dipungkiri karena Mbah Kakung telah membekali saya banyak hal untuk menghadapinya. Tentu, dengan kehendak dan kasih sayang Allah juga pastinya.
Mbah kakung adalah 'coach' terbaik yang pernah saya punya. Semoga Allah mengampuni dosa-dosa beliau dan melapangkan kuburnya. Amin.
I love u Mbah Akung....

No comments: